Seorang anak berenang antara sampah plastik yang mengapung di laut di Pantai Kalumata Ternate, Maluku Utara, Jumat (15/11/2024). Foto: ANTARA FOTO/ANDRI SAPUTRAJakarta - Baru-baru ini, sebuah studi yang dipublikasikan di jurnal Science memperkirakan bahwa Bumi bisa bebas dari polusi plastik pada 2050 melalui perjanjian internasional. Penelitian para ilmuwan dari Universitas California (UC) Berkeley tersebut mengungkap potensi solusi untuk mengatasi krisis plastik secara global. Menurut peneliti, para pemimpin dunia punya beberapa pilihan kebijakan yang dapat dipilih untuk mengatasi polusi plastik. Opsi ini meliputi aspek produksi, penggunaan, dan pembuangan plastik. Gabungan opsi-opsi ini dapat turut mengurangi gas kaca yang berkontribusi pada pemanasan global. "Ada beberapa jalur yang tersedia untuk negosiator," kata A. Samuel Pottinger, ilmuwan data senior di Eric and Wendy Schmidt Center fow Data Science and Environment (DSE), dikutip dari laman UC Berkeley. "Tapi menjalaninya memang butuh ambisi," imbuhnya. Empat Solusi untuk Menangani Krisis Plastik dan IklimPara ahli mengusulkan empat intervensi utama yang dapat membantu para pemimpin dunia mengatasi krisis plastik dan perubahan iklim: Meningkatkan daur ulang: Meningkatkan daur ulang setidaknya 40% dari total limbah plastik global di seluruh sektor.Memberi batas produksi plastik baru: Menetapkan batas produksi plastik baru setara produksi pada 2020 saja.Investasi pada infrastruktur pengelolaan limbah: Menginvestasikan sekitar $50 miliar (Rp 793 triliun) untuk memperluas infrastruktur pengelolaan limbah yang lebih efisien di seluruh dunia.Pengenaan pajak konsumsi kemasan: Menerapkan pajak konsumsi kemasan yang tinggi untuk mengurangi penggunaan plastik sekali pakai.Tindakan di atas dapat mengurangi polusi plastik hingga sekitar 11 juta ton pada 2050. Selain itu, emisi gas rumah kaca terkait plastik juga bisa berkurang hingga sepertiganya pada tahun yang sama, mencapai 2,09 gigaton. Penghematan emisi dari kebijakan ini menurut Pottinger setara dengan menghapus hampir 300 juta kendaraan dari jalan selama satu tahun. "Ada keniscayaan bahwa plastik begitu mendarah daging dalam cara hidup kita, jadi bagaimana bisa perjanjian seperti ini menjadi efektif," kata Pottinger. "Paket empat kebijakan ini menunjukkan bahwa upaya ini mungkin. Rangkaian kebijakan yang digunakan untuk sampai ke sana mungkin berbeda dari apa yang kita perkirakan. Tapi kami tidak ingin ada yang bersembunyi di balik gagasan bahwa itu tidak mungkin," imbuhnya. Sampah Plastik Seberat 1,6 Miliar GajahPenggunaan plastik sehari-hari sudah melekat pada manusia, mulai dari popok hingga perabotan. Ketergantungan manusia pada plastik tercermin dalam cara masyarakat memproduksi barang-barang tersebut. Per 2021, manusia telah menghasilkan 11 miliar metrik ton. Angka tersebut setara dengan berat 1,6 miliar gajah. Produksi, penggunaan, dan pembuangan plastik dapat membahayakan ekosistem dan meningkatkan risiko kesehatan bagi manusia. Ini terjadi karena sampah plastik mempercepat perubahan iklim dan memperburuk ketidakadilan sosial. Menanggapi masalah ini, para pengambil keputusan global bekerja sama sejak 2022 untuk mengatasi apa yang disebut PBB sebagai "masalah lingkungan yang serius dalam skala global." Mereka akan bertemu di Korea Selatan bulan ini untuk menyelesaikan perjanjian internasional yang diharapkan dapat mengurangi dampak negatif plastik pada lingkungan dan kesehatan. Prakiraan Berbasis AI, Kebijakan Berbasis DataTahun lalu, para ilmuwan merilis Global Plastic Policy Tool, sebuah model open-source berbasis AI yang dapat memprakirakan hasil kebijakan berdasarkan data terlokalisasi. Alat tersebut dirancang untuk membantu para negosiator perjanjian dalam mengeksplorasi efektivitas berbagai intervensi kebijakan yang sedang dipertimbangkan. Peneliti juga menggunakan alat tersebut untuk mengembangkan makalahnya, Pathway to Reduce Global Waste Mismanagement and Greenhouse Gas Emissions by 2050. "Dampak yang benar-benar kami harapkan pada perjanjian, dan saya pikir kita sudah mulai melihatnya percakapan-percakapan individu, adalah bahwa perjanjian itu berbasis data," kata Pottiger. "Sehingga ketika perjanjian sampai pada kesimpulan akhir sebelum ratifikasi, orang-orang menyadari sejauh apa kemajuan yang sebenarnya mereka buat, setidaknya berdasarkan pengetahuan sains terbaik yang kita miliki saat ini, imbuhnya. Pada 2020, sekitar 15% dari 425 juta metrik ton sampah plastik yang dihasilkan setiap tahun tidak dikelola dengan baik. Artinya, sampah plastik tersebut tidak ditempatkan di tempat pembuangan sampah yang tepat, tidak dibakar dengan benar, atau tidak didaur ulang. Tanpa perubahan signifikan pada aktivitas bisnis yang melibatkan produksi plastik, jumlah polusi plastik dapat bertambah hampir dua kalinya menjadi 121 juta ton pada 2050. "Jika semua plastik yang salah kelola antara sekarang dan 2050 ditumpuk di atas cakrawala New York, tinggi akan cukup untuk mengganggu penerbangan pesawat," kata Pottinger. Namun, masa depan yang buruk ini masih bisa dihindari jika kita menerapkan kebijakan yang tepat. Para ilmuwan dalam studi ini menemukan bahwa memilih kebijakan yang tepat tidak hanya dapat mengurangi polusi plastik, tetapi juga mendapatkan manfaat besar bagi iklim. Video: PBB Yakin Polusi Plastik Bakal Capai Kesepakatan |